Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kuburan Wangi di Tengah Sawah

Masa-masa akhir kehidupannya masih dipenuhi aktivitas mengaji dan membimbing umat. Ia wafat ketika selesai memberikan khutbah Jum’at di masjid nagari yang dicintainya.

Selalu saja setiap orang yang melintas di tepian sawah itu merasakan aroma yang begitu wangi. Sudah banyak orang yang datang menyempatkan diri untuk berziarah sambil melihat-lihat be­kas surau yang pernah jaya dan kini sudah uzur dimakan usia.

Kuburan itu hanya kuburan seder­hana, tidak ada bunga berserakan di sana, tapi daya tariknya sungguh luar biasa. Apakah udara di sekitar itu yang wangi atau karena terletak di kawasan yang sejuk dan nihil polusi? Tidak juga, karena kalau peziarah melangkah be­berapa meter menjauhi kuburan itu yang tercium hanya udara segar biasa, tidak ada tercium bau wangi.

Terletak di tengah hamparan sawah dengan pemandangan yang menakjub­kan, di latar belakang berdiri kokoh Gu­nung Marapi dan Singgalang. Sawah dan surau itu telah mendidik anak nagari sekian generasi, dan seiring dengan per­kembangan zaman keberadaannya se­makin tergerus dengan munculnya ber­bagai budaya baru dan tontonan yang melalaikan. Kini surau itu kosong me­lompong.

Terletak di sebuah nagari di ping­gang Gunung Marapi, Sumatera Barat, tidak banyak orang luar yang tahu bahwa bekas surau tempat mengaji itu juga mem­punyai kuburan yang sering jadi tempat tujuan ziarah. Karena tempatnya yang terpencil di tengah sawah, berita dari mulut ke mulutlah yang menjadi media ampuh publikasi sehingga orang mulai tertarik untuk berziarah ke sana.

Dulunya tanah surau itu memang tidak diperuntukkan bagi kuburan, ka­rena hanya sedikit tanah yang tersisa di samping halaman, selebihnya adalah sawah-sawah yang subur menghampar. Tapi sebelum meninggal, Antan Bagindo Hasan, yang setia menghidupkan surau dan mengajar mengaji, memberikan pe­san kepada orang sesukunya untuk di­kuburkan di samping surau itu.

Antan Bagindo, begitu murid-murid­nya akrab memanggil dirinya, ditinggal wafat istrinya ketika anak-anaknya ma­sih kecil.

Ia, yang shalih dan mempunyai ilmu agama yang cukup, dengan telaten mem­besarkan anak-anaknya dan mendiri­kan surau di tengah sawah yang jauh dari keramaian penduduk.

Di sanalah daya tariknya, dalam waktu yang panjang surau itu menjadi tumpuan orangtua untuk menyerahkan anak-anak mereka dalam pendidikan agama. Di tahun-tahun lima puluhan sam­pai tujuh puluhan, masa keemasan surau di ranah Minang sedang mencapai puncaknya. Para lelaki yang memang ti­dak punya ruangan di rumah gadang mereka merasa betah berlama-lama di surau. Sehingga surau menjadi pusat akvitas mereka. Pulang sekolah ke su­rau, nanti sore pulang ke rumah sebentar lalu menjelang maghrib datang lagi ke surau. Belajar agama malam hari, dan te­ngah malam shalat Tahajjud. Menje­lang subuh bangun lagi, nanti setelah shalat Subuh kembali ke rumah untuk pergi ke sekolah.

Begitulah aktivitas keagamaan anak-anak di ranah Minang pada masa itu, mereka digembleng dengan pendidikan su­rau ditambah pula dengan seni bela diri. Sehingga ketika mereka merantau, orangtua tidak cemas untuk melepas­nya, karena dari kecil sudah dibekali pen­didikan agama dan ilmu bela diri.

Surau dan rantau adalah dua hal yang selalu menjadi andalan para pria Minang, karena mereka dibesarkan di alam matriakhat, yang rumah menjadi sesuatu yang asing bagi mereka, karena rumah adalah tempat saudara perem­puan mereka. Walaupun begitu mereka yang belajar mengaji di surau tentu tidak hanya pria, tapi juga ada wanita. Dan ruang tidur pria dan wanita tentu dipi­sahkan jauh.

Antan Bagindo adalah salah satu pemilik surau dan pendidik yang terkenal di masanya. Ia adalah tipe pendidik se­jati, sabar, pandai membujuk anak-anak untuk mengaji, punya segudang kisah yang dilantunkan sebelum tidur, serta punya selera humor yang tinggi.

Anak-anaknya juga ikut mengaji ber­sama di malam hari. Ia tidak pernah mem­bedakan anak atau murid kalau su­dah mengaji. Terhadap mereka, disiplin diberlakukan sama.

Itu bukti kecintaannya kepada anak muridnya, ia tidak ingin melihat mereka lalai dalam mengaji dan belajar dasar-dasar ilmu agama.

Biasanya menjelang shalat Subuh ada saja yang sulit untuk dibangunkan, maka setetes dua tetes air pegunungan yang begitu dingin akan membuat si murid terbangun.

Orangtua dan lingkungan sangat mendukungnya untuk men­jadikan anak-anak mereka taat dan alim. Jarang orang­­tua yang tidak hormat kepada guru mengaji atau ustadz. Peng­hor­matan mere­ka sa­ngat luar biasa.

Godaan waktu itu juga belum begitu se­dah­syat sekarang. Te­levisi belum ada, radio ha­nya dipunyai oleh orang-orang tertentu. Ber­beda dengan zaman seka­rang. Anak-anak bukannya tekun meng­aji, tapi banyak yang berkeliaran dan sibuk menonton televisi.

Apa yang didapat ketika mengaji di surau Antan Bagindo begitu melekat dan meresap dalam banyak pribadi dari ge­nerasi ke generasi, sehingga kalau men­dengar namanya orang pun menunduk ta’zim dan menaruh hormat yang tulus. Muridnya bertebaran di mana-mana de­ngan berbagai macam profesi, tapi yang terpenting mereka merasa beruntung karena pernah mengaji dan mendapat didikan yang begitu baik di bawah asuh­an Antan Bagindo.

Kadang kalau surau sudah terlalu ba­nyak dipenuhi anak-anak mengaji, Antan dibantu oleh satu atau dua orang ustadz muda, yang menjadi murid Pe­santren Tarbiyah yang masih berada di nagari itu, tapi itu hanya bersifat semen­tara. Mereka yang ikut mengaji lebih senang kalau Antan yang membimbing mereka.

Di samping mengajar mengaji, Antan Bagindo juga menanamkan pendidikan akhlaq, dan tak lupa menceritakan ber­bagai kisah yang mengukuhkan iman.

Perayaan khatam Al-Qur’an merupa­kan masa yang sering dile­ma­tis bagi se­tiap anak yang mengaji di surau An­tan, karena mereka telah dianggap cu­kup baik untuk di­lepas de­ngan pera­yaan yang khas dan me­riah tapi juga mere­ka harus ber­pisah dengan surau. Bia­sa­nya Antan masih menerima dengan ta­ngan terbuka mereka yang sudah khatam ini untuk kembali ke surau, mereka bisa mengaji lanjutan atau ikut mem­bantu adik kelasnya mengaji. Tapi tentu tidak semuanya bisa ditampung, karena ba­nyak lagi yang antre mau mengaji dan menjadi warga surau.

Tapi bagi Antan sendiri itu bukan se­suatu masalah. Baginya, kalau anak-anak rindu dengan surau, kapan pun me­reka bisa datang, baik siang maupun malam. Cinta, pengabdian, dan akhlaq Antan kepada murid-muridnya membuat ia disayang dan menjadi teladan bagi semua warga. Ia adalah suluh dalam na­gari, tempat bertanya ketika akan pergi dan tempat mengadu ketika pulang.

Masa-masa akhir kehidupannya ma­sih dipenuhi aktivitas mengaji dan mem­bimbing umat.

Antan Bagindo wafat selesai mem­beri­kan khutbah Jum’at di masjid nagari yang dicintainya.

Proses wafatnya berlangsung cepat. Hanya sebentar ia merasakan agak pu­sing, lalu ketika akan berdiri ia terkulai le­mas. Ia wafat di tempat yang suci dan jama’ah masih banyak yang belum pu­lang.

Pada malam harinya ia langsung di­kuburkan, dihadiri hampir semua warga nagari.

Para peziarah tak henti-hentinya ber­datangan, bahkan juga dari luar keca­mat­an. Murid-muridnya yang tersebar ke mana-mana berdatangan tanpa henti, entah dapat berita dari mana, padahal zaman itu belum ada telepon. Sungguh akhir yang indah dan husnul khatimah. Dan besok paginya sudah menjalar berita itu, kuburannya dipenuhi aroma wangi.



Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah


Surau adalah ciri khas yang berkembang di tengah masyarakat Minangkabau. Tradisi pendidik­an surau terbukti ampuh melahirkan ba­nyak alim ulama dan kaum terpelajar di ranah Minang. Dengan tradisi tersebut, anak-anak di sana telah dilatih sejak kecil untuk taat, mermpunyai dasar agama yang kuat, serta mandiri. Lalu nanti di­teruskan dengan tradisi merantau, yang akan menggembleng mereka menjadi ulet, gigih, dan tidak mudah berputus asa.

Mendidik umat adalah pekerjaan yang amat mulia, dengan syarat ikhlas, semata-mata melakukan karena meng­harapkan ridha Allah SWT. Sudah jelas, balasannya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka yang ikhlas melakukan tarbiyah kepada umat, Allah SWT ridha terhadap mereka. Balasannya adalah surga, yang penuh kenikmatan.

Pada zaman dulu keyakinan orang begitu kuat terhadap balasan Allah SWT di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, ba­nyak sekali orang siak (semacam ustadz) di ranah Minang yang hidupnya total di­abdikan untuk agama. Mereka tidak per­nah merasa khawatir terhadap rizqi atau pernik-pernik dunia lainnya, karena haqul yakin dengan janji-janji Allah SWT.

Tentu berbeda dengan sekarang, ke­tika yang dikedepankan adalah imbalan materi, yang tentu sedikit banyak mem­pengaruhi niat seseorang. Apa yang ter­jadi dengan ustadz yang dikisahkan ini men­jadi semacam penguat bagi mereka yang total mengikhlaskan hidupnya untuk Allah SWT. Cukuplah Allah SWT yang memberikan balasan.

Dalam banyak kisah, kita juga sering mendengar bagaimana keutamaan yang didapatkan oleh para kekasih Allah SWT, atau mereka yang mempunyai kelebihan, seperti para mujahid, penghafal Al-Qur’an, wali, nabi, dan rasul Allah SWT. Ini menjadi bukti yang akan membuat ma­nu­sia beriman semakin kuat, tidak ga­lau dengan berbagai tawaran, godaan, yang menyilaukan mata, yang nantinya berujung dengan terkikisnya iman.

Semoga kita semakin kukuh dalam iman dan Islam serta berusaha ber­sung­guh-sungguh untuk meraih ridha-Nya, di mana pun berada. Demikian mauizhah Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/3403-kuburan-wangi-di-tengah-sawah


EmoticonEmoticon