Masa-masa akhir kehidupannya masih dipenuhi aktivitas mengaji dan membimbing umat. Ia wafat ketika selesai memberikan khutbah Jum’at di masjid nagari yang dicintainya.
Selalu saja setiap orang yang melintas di tepian sawah itu merasakan aroma yang begitu wangi. Sudah banyak orang yang datang menyempatkan diri untuk berziarah sambil melihat-lihat bekas surau yang pernah jaya dan kini sudah uzur dimakan usia.
Kuburan itu hanya kuburan sederhana, tidak ada bunga berserakan di sana, tapi daya tariknya sungguh luar biasa. Apakah udara di sekitar itu yang wangi atau karena terletak di kawasan yang sejuk dan nihil polusi? Tidak juga, karena kalau peziarah melangkah beberapa meter menjauhi kuburan itu yang tercium hanya udara segar biasa, tidak ada tercium bau wangi.
Terletak di tengah hamparan sawah dengan pemandangan yang menakjubkan, di latar belakang berdiri kokoh Gunung Marapi dan Singgalang. Sawah dan surau itu telah mendidik anak nagari sekian generasi, dan seiring dengan perkembangan zaman keberadaannya semakin tergerus dengan munculnya berbagai budaya baru dan tontonan yang melalaikan. Kini surau itu kosong melompong.
Terletak di sebuah nagari di pinggang Gunung Marapi, Sumatera Barat, tidak banyak orang luar yang tahu bahwa bekas surau tempat mengaji itu juga mempunyai kuburan yang sering jadi tempat tujuan ziarah. Karena tempatnya yang terpencil di tengah sawah, berita dari mulut ke mulutlah yang menjadi media ampuh publikasi sehingga orang mulai tertarik untuk berziarah ke sana.
Dulunya tanah surau itu memang tidak diperuntukkan bagi kuburan, karena hanya sedikit tanah yang tersisa di samping halaman, selebihnya adalah sawah-sawah yang subur menghampar. Tapi sebelum meninggal, Antan Bagindo Hasan, yang setia menghidupkan surau dan mengajar mengaji, memberikan pesan kepada orang sesukunya untuk dikuburkan di samping surau itu.
Antan Bagindo, begitu murid-muridnya akrab memanggil dirinya, ditinggal wafat istrinya ketika anak-anaknya masih kecil.
Ia, yang shalih dan mempunyai ilmu agama yang cukup, dengan telaten membesarkan anak-anaknya dan mendirikan surau di tengah sawah yang jauh dari keramaian penduduk.
Di sanalah daya tariknya, dalam waktu yang panjang surau itu menjadi tumpuan orangtua untuk menyerahkan anak-anak mereka dalam pendidikan agama. Di tahun-tahun lima puluhan sampai tujuh puluhan, masa keemasan surau di ranah Minang sedang mencapai puncaknya. Para lelaki yang memang tidak punya ruangan di rumah gadang mereka merasa betah berlama-lama di surau. Sehingga surau menjadi pusat akvitas mereka. Pulang sekolah ke surau, nanti sore pulang ke rumah sebentar lalu menjelang maghrib datang lagi ke surau. Belajar agama malam hari, dan tengah malam shalat Tahajjud. Menjelang subuh bangun lagi, nanti setelah shalat Subuh kembali ke rumah untuk pergi ke sekolah.
Begitulah aktivitas keagamaan anak-anak di ranah Minang pada masa itu, mereka digembleng dengan pendidikan surau ditambah pula dengan seni bela diri. Sehingga ketika mereka merantau, orangtua tidak cemas untuk melepasnya, karena dari kecil sudah dibekali pendidikan agama dan ilmu bela diri.
Surau dan rantau adalah dua hal yang selalu menjadi andalan para pria Minang, karena mereka dibesarkan di alam matriakhat, yang rumah menjadi sesuatu yang asing bagi mereka, karena rumah adalah tempat saudara perempuan mereka. Walaupun begitu mereka yang belajar mengaji di surau tentu tidak hanya pria, tapi juga ada wanita. Dan ruang tidur pria dan wanita tentu dipisahkan jauh.
Antan Bagindo adalah salah satu pemilik surau dan pendidik yang terkenal di masanya. Ia adalah tipe pendidik sejati, sabar, pandai membujuk anak-anak untuk mengaji, punya segudang kisah yang dilantunkan sebelum tidur, serta punya selera humor yang tinggi.
Anak-anaknya juga ikut mengaji bersama di malam hari. Ia tidak pernah membedakan anak atau murid kalau sudah mengaji. Terhadap mereka, disiplin diberlakukan sama.
Itu bukti kecintaannya kepada anak muridnya, ia tidak ingin melihat mereka lalai dalam mengaji dan belajar dasar-dasar ilmu agama.
Biasanya menjelang shalat Subuh ada saja yang sulit untuk dibangunkan, maka setetes dua tetes air pegunungan yang begitu dingin akan membuat si murid terbangun.
Orangtua dan lingkungan sangat mendukungnya untuk menjadikan anak-anak mereka taat dan alim. Jarang orangtua yang tidak hormat kepada guru mengaji atau ustadz. Penghormatan mereka sangat luar biasa.
Godaan waktu itu juga belum begitu sedahsyat sekarang. Televisi belum ada, radio hanya dipunyai oleh orang-orang tertentu. Berbeda dengan zaman sekarang. Anak-anak bukannya tekun mengaji, tapi banyak yang berkeliaran dan sibuk menonton televisi.
Apa yang didapat ketika mengaji di surau Antan Bagindo begitu melekat dan meresap dalam banyak pribadi dari generasi ke generasi, sehingga kalau mendengar namanya orang pun menunduk ta’zim dan menaruh hormat yang tulus. Muridnya bertebaran di mana-mana dengan berbagai macam profesi, tapi yang terpenting mereka merasa beruntung karena pernah mengaji dan mendapat didikan yang begitu baik di bawah asuhan Antan Bagindo.
Kadang kalau surau sudah terlalu banyak dipenuhi anak-anak mengaji, Antan dibantu oleh satu atau dua orang ustadz muda, yang menjadi murid Pesantren Tarbiyah yang masih berada di nagari itu, tapi itu hanya bersifat sementara. Mereka yang ikut mengaji lebih senang kalau Antan yang membimbing mereka.
Di samping mengajar mengaji, Antan Bagindo juga menanamkan pendidikan akhlaq, dan tak lupa menceritakan berbagai kisah yang mengukuhkan iman.
Perayaan khatam Al-Qur’an merupakan masa yang sering dilematis bagi setiap anak yang mengaji di surau Antan, karena mereka telah dianggap cukup baik untuk dilepas dengan perayaan yang khas dan meriah tapi juga mereka harus berpisah dengan surau. Biasanya Antan masih menerima dengan tangan terbuka mereka yang sudah khatam ini untuk kembali ke surau, mereka bisa mengaji lanjutan atau ikut membantu adik kelasnya mengaji. Tapi tentu tidak semuanya bisa ditampung, karena banyak lagi yang antre mau mengaji dan menjadi warga surau.
Tapi bagi Antan sendiri itu bukan sesuatu masalah. Baginya, kalau anak-anak rindu dengan surau, kapan pun mereka bisa datang, baik siang maupun malam. Cinta, pengabdian, dan akhlaq Antan kepada murid-muridnya membuat ia disayang dan menjadi teladan bagi semua warga. Ia adalah suluh dalam nagari, tempat bertanya ketika akan pergi dan tempat mengadu ketika pulang.
Masa-masa akhir kehidupannya masih dipenuhi aktivitas mengaji dan membimbing umat.
Antan Bagindo wafat selesai memberikan khutbah Jum’at di masjid nagari yang dicintainya.
Proses wafatnya berlangsung cepat. Hanya sebentar ia merasakan agak pusing, lalu ketika akan berdiri ia terkulai lemas. Ia wafat di tempat yang suci dan jama’ah masih banyak yang belum pulang.
Pada malam harinya ia langsung dikuburkan, dihadiri hampir semua warga nagari.
Para peziarah tak henti-hentinya berdatangan, bahkan juga dari luar kecamatan. Murid-muridnya yang tersebar ke mana-mana berdatangan tanpa henti, entah dapat berita dari mana, padahal zaman itu belum ada telepon. Sungguh akhir yang indah dan husnul khatimah. Dan besok paginya sudah menjalar berita itu, kuburannya dipenuhi aroma wangi.
Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Surau adalah ciri khas yang berkembang di tengah masyarakat Minangkabau. Tradisi pendidikan surau terbukti ampuh melahirkan banyak alim ulama dan kaum terpelajar di ranah Minang. Dengan tradisi tersebut, anak-anak di sana telah dilatih sejak kecil untuk taat, mermpunyai dasar agama yang kuat, serta mandiri. Lalu nanti diteruskan dengan tradisi merantau, yang akan menggembleng mereka menjadi ulet, gigih, dan tidak mudah berputus asa.
Mendidik umat adalah pekerjaan yang amat mulia, dengan syarat ikhlas, semata-mata melakukan karena mengharapkan ridha Allah SWT. Sudah jelas, balasannya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka yang ikhlas melakukan tarbiyah kepada umat, Allah SWT ridha terhadap mereka. Balasannya adalah surga, yang penuh kenikmatan.
Pada zaman dulu keyakinan orang begitu kuat terhadap balasan Allah SWT di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, banyak sekali orang siak (semacam ustadz) di ranah Minang yang hidupnya total diabdikan untuk agama. Mereka tidak pernah merasa khawatir terhadap rizqi atau pernik-pernik dunia lainnya, karena haqul yakin dengan janji-janji Allah SWT.
Tentu berbeda dengan sekarang, ketika yang dikedepankan adalah imbalan materi, yang tentu sedikit banyak mempengaruhi niat seseorang. Apa yang terjadi dengan ustadz yang dikisahkan ini menjadi semacam penguat bagi mereka yang total mengikhlaskan hidupnya untuk Allah SWT. Cukuplah Allah SWT yang memberikan balasan.
Dalam banyak kisah, kita juga sering mendengar bagaimana keutamaan yang didapatkan oleh para kekasih Allah SWT, atau mereka yang mempunyai kelebihan, seperti para mujahid, penghafal Al-Qur’an, wali, nabi, dan rasul Allah SWT. Ini menjadi bukti yang akan membuat manusia beriman semakin kuat, tidak galau dengan berbagai tawaran, godaan, yang menyilaukan mata, yang nantinya berujung dengan terkikisnya iman.
Semoga kita semakin kukuh dalam iman dan Islam serta berusaha bersungguh-sungguh untuk meraih ridha-Nya, di mana pun berada. Demikian mauizhah Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/3403-kuburan-wangi-di-tengah-sawah
Selalu saja setiap orang yang melintas di tepian sawah itu merasakan aroma yang begitu wangi. Sudah banyak orang yang datang menyempatkan diri untuk berziarah sambil melihat-lihat bekas surau yang pernah jaya dan kini sudah uzur dimakan usia.
Kuburan itu hanya kuburan sederhana, tidak ada bunga berserakan di sana, tapi daya tariknya sungguh luar biasa. Apakah udara di sekitar itu yang wangi atau karena terletak di kawasan yang sejuk dan nihil polusi? Tidak juga, karena kalau peziarah melangkah beberapa meter menjauhi kuburan itu yang tercium hanya udara segar biasa, tidak ada tercium bau wangi.
Terletak di tengah hamparan sawah dengan pemandangan yang menakjubkan, di latar belakang berdiri kokoh Gunung Marapi dan Singgalang. Sawah dan surau itu telah mendidik anak nagari sekian generasi, dan seiring dengan perkembangan zaman keberadaannya semakin tergerus dengan munculnya berbagai budaya baru dan tontonan yang melalaikan. Kini surau itu kosong melompong.
Terletak di sebuah nagari di pinggang Gunung Marapi, Sumatera Barat, tidak banyak orang luar yang tahu bahwa bekas surau tempat mengaji itu juga mempunyai kuburan yang sering jadi tempat tujuan ziarah. Karena tempatnya yang terpencil di tengah sawah, berita dari mulut ke mulutlah yang menjadi media ampuh publikasi sehingga orang mulai tertarik untuk berziarah ke sana.
Dulunya tanah surau itu memang tidak diperuntukkan bagi kuburan, karena hanya sedikit tanah yang tersisa di samping halaman, selebihnya adalah sawah-sawah yang subur menghampar. Tapi sebelum meninggal, Antan Bagindo Hasan, yang setia menghidupkan surau dan mengajar mengaji, memberikan pesan kepada orang sesukunya untuk dikuburkan di samping surau itu.
Antan Bagindo, begitu murid-muridnya akrab memanggil dirinya, ditinggal wafat istrinya ketika anak-anaknya masih kecil.
Ia, yang shalih dan mempunyai ilmu agama yang cukup, dengan telaten membesarkan anak-anaknya dan mendirikan surau di tengah sawah yang jauh dari keramaian penduduk.
Di sanalah daya tariknya, dalam waktu yang panjang surau itu menjadi tumpuan orangtua untuk menyerahkan anak-anak mereka dalam pendidikan agama. Di tahun-tahun lima puluhan sampai tujuh puluhan, masa keemasan surau di ranah Minang sedang mencapai puncaknya. Para lelaki yang memang tidak punya ruangan di rumah gadang mereka merasa betah berlama-lama di surau. Sehingga surau menjadi pusat akvitas mereka. Pulang sekolah ke surau, nanti sore pulang ke rumah sebentar lalu menjelang maghrib datang lagi ke surau. Belajar agama malam hari, dan tengah malam shalat Tahajjud. Menjelang subuh bangun lagi, nanti setelah shalat Subuh kembali ke rumah untuk pergi ke sekolah.
Begitulah aktivitas keagamaan anak-anak di ranah Minang pada masa itu, mereka digembleng dengan pendidikan surau ditambah pula dengan seni bela diri. Sehingga ketika mereka merantau, orangtua tidak cemas untuk melepasnya, karena dari kecil sudah dibekali pendidikan agama dan ilmu bela diri.
Surau dan rantau adalah dua hal yang selalu menjadi andalan para pria Minang, karena mereka dibesarkan di alam matriakhat, yang rumah menjadi sesuatu yang asing bagi mereka, karena rumah adalah tempat saudara perempuan mereka. Walaupun begitu mereka yang belajar mengaji di surau tentu tidak hanya pria, tapi juga ada wanita. Dan ruang tidur pria dan wanita tentu dipisahkan jauh.
Antan Bagindo adalah salah satu pemilik surau dan pendidik yang terkenal di masanya. Ia adalah tipe pendidik sejati, sabar, pandai membujuk anak-anak untuk mengaji, punya segudang kisah yang dilantunkan sebelum tidur, serta punya selera humor yang tinggi.
Anak-anaknya juga ikut mengaji bersama di malam hari. Ia tidak pernah membedakan anak atau murid kalau sudah mengaji. Terhadap mereka, disiplin diberlakukan sama.
Itu bukti kecintaannya kepada anak muridnya, ia tidak ingin melihat mereka lalai dalam mengaji dan belajar dasar-dasar ilmu agama.
Biasanya menjelang shalat Subuh ada saja yang sulit untuk dibangunkan, maka setetes dua tetes air pegunungan yang begitu dingin akan membuat si murid terbangun.
Orangtua dan lingkungan sangat mendukungnya untuk menjadikan anak-anak mereka taat dan alim. Jarang orangtua yang tidak hormat kepada guru mengaji atau ustadz. Penghormatan mereka sangat luar biasa.
Godaan waktu itu juga belum begitu sedahsyat sekarang. Televisi belum ada, radio hanya dipunyai oleh orang-orang tertentu. Berbeda dengan zaman sekarang. Anak-anak bukannya tekun mengaji, tapi banyak yang berkeliaran dan sibuk menonton televisi.
Apa yang didapat ketika mengaji di surau Antan Bagindo begitu melekat dan meresap dalam banyak pribadi dari generasi ke generasi, sehingga kalau mendengar namanya orang pun menunduk ta’zim dan menaruh hormat yang tulus. Muridnya bertebaran di mana-mana dengan berbagai macam profesi, tapi yang terpenting mereka merasa beruntung karena pernah mengaji dan mendapat didikan yang begitu baik di bawah asuhan Antan Bagindo.
Kadang kalau surau sudah terlalu banyak dipenuhi anak-anak mengaji, Antan dibantu oleh satu atau dua orang ustadz muda, yang menjadi murid Pesantren Tarbiyah yang masih berada di nagari itu, tapi itu hanya bersifat sementara. Mereka yang ikut mengaji lebih senang kalau Antan yang membimbing mereka.
Di samping mengajar mengaji, Antan Bagindo juga menanamkan pendidikan akhlaq, dan tak lupa menceritakan berbagai kisah yang mengukuhkan iman.
Perayaan khatam Al-Qur’an merupakan masa yang sering dilematis bagi setiap anak yang mengaji di surau Antan, karena mereka telah dianggap cukup baik untuk dilepas dengan perayaan yang khas dan meriah tapi juga mereka harus berpisah dengan surau. Biasanya Antan masih menerima dengan tangan terbuka mereka yang sudah khatam ini untuk kembali ke surau, mereka bisa mengaji lanjutan atau ikut membantu adik kelasnya mengaji. Tapi tentu tidak semuanya bisa ditampung, karena banyak lagi yang antre mau mengaji dan menjadi warga surau.
Tapi bagi Antan sendiri itu bukan sesuatu masalah. Baginya, kalau anak-anak rindu dengan surau, kapan pun mereka bisa datang, baik siang maupun malam. Cinta, pengabdian, dan akhlaq Antan kepada murid-muridnya membuat ia disayang dan menjadi teladan bagi semua warga. Ia adalah suluh dalam nagari, tempat bertanya ketika akan pergi dan tempat mengadu ketika pulang.
Masa-masa akhir kehidupannya masih dipenuhi aktivitas mengaji dan membimbing umat.
Antan Bagindo wafat selesai memberikan khutbah Jum’at di masjid nagari yang dicintainya.
Proses wafatnya berlangsung cepat. Hanya sebentar ia merasakan agak pusing, lalu ketika akan berdiri ia terkulai lemas. Ia wafat di tempat yang suci dan jama’ah masih banyak yang belum pulang.
Pada malam harinya ia langsung dikuburkan, dihadiri hampir semua warga nagari.
Para peziarah tak henti-hentinya berdatangan, bahkan juga dari luar kecamatan. Murid-muridnya yang tersebar ke mana-mana berdatangan tanpa henti, entah dapat berita dari mana, padahal zaman itu belum ada telepon. Sungguh akhir yang indah dan husnul khatimah. Dan besok paginya sudah menjalar berita itu, kuburannya dipenuhi aroma wangi.
Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Surau adalah ciri khas yang berkembang di tengah masyarakat Minangkabau. Tradisi pendidikan surau terbukti ampuh melahirkan banyak alim ulama dan kaum terpelajar di ranah Minang. Dengan tradisi tersebut, anak-anak di sana telah dilatih sejak kecil untuk taat, mermpunyai dasar agama yang kuat, serta mandiri. Lalu nanti diteruskan dengan tradisi merantau, yang akan menggembleng mereka menjadi ulet, gigih, dan tidak mudah berputus asa.
Mendidik umat adalah pekerjaan yang amat mulia, dengan syarat ikhlas, semata-mata melakukan karena mengharapkan ridha Allah SWT. Sudah jelas, balasannya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka yang ikhlas melakukan tarbiyah kepada umat, Allah SWT ridha terhadap mereka. Balasannya adalah surga, yang penuh kenikmatan.
Pada zaman dulu keyakinan orang begitu kuat terhadap balasan Allah SWT di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, banyak sekali orang siak (semacam ustadz) di ranah Minang yang hidupnya total diabdikan untuk agama. Mereka tidak pernah merasa khawatir terhadap rizqi atau pernik-pernik dunia lainnya, karena haqul yakin dengan janji-janji Allah SWT.
Tentu berbeda dengan sekarang, ketika yang dikedepankan adalah imbalan materi, yang tentu sedikit banyak mempengaruhi niat seseorang. Apa yang terjadi dengan ustadz yang dikisahkan ini menjadi semacam penguat bagi mereka yang total mengikhlaskan hidupnya untuk Allah SWT. Cukuplah Allah SWT yang memberikan balasan.
Dalam banyak kisah, kita juga sering mendengar bagaimana keutamaan yang didapatkan oleh para kekasih Allah SWT, atau mereka yang mempunyai kelebihan, seperti para mujahid, penghafal Al-Qur’an, wali, nabi, dan rasul Allah SWT. Ini menjadi bukti yang akan membuat manusia beriman semakin kuat, tidak galau dengan berbagai tawaran, godaan, yang menyilaukan mata, yang nantinya berujung dengan terkikisnya iman.
Semoga kita semakin kukuh dalam iman dan Islam serta berusaha bersungguh-sungguh untuk meraih ridha-Nya, di mana pun berada. Demikian mauizhah Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/3403-kuburan-wangi-di-tengah-sawah
EmoticonEmoticon